Jadi gue pernah mengalami kejadian
buruk secara beruntun, dan itu terjadi saat hari kamis.
Flashback
ke masa dimana masih
pelajar SMA.
Lagi asyiknya tidur dan bermimpi bertemu Raisa di konser impian, alarm sialan membangunkan gue dari mimpi indah. Liat jam ternyata jam 7 lewat. Satu kata untuk diucapkan dengan muka pucat serta bibir monyong ini.
“Kampret!”
Lalu.
“Gue telat!”
Seandainya gue memiliki kemampuan
seperti The Flash atau Quick Silver, mungkin jam segitu cuma pemanasan lari
menuju sekolah. Secara nyata, cuma lelaki biasa yang punya kebiasaan ngupil
paling cepat. Itu gue, lho.
Ke kamar mandi, mendadak mules, dengan
keringat bercucuran, untuk membuang semua apa yang ada di dalam perut melalui
lubang closet. Dan pas check ember di sebelah, enggak ada air!
Tidak ada air.
Tidak bisa nyebok.
Putar keran, air enggak keluar. Cek
air ledeng, ternyata kosong. Aaahhkkkk… sekering
air nya di dekat ruang tamu, sedangkan jarak dari WC ke ruang tamu harus
melewati ruang dapur dan ruang makan. Gila! Gue kepikiran bagaimana caranya
nyalain sekering tanpa keluar dari
WC.
Bantuan?
Tapi semua saudara gue masih tertidur
lelap, tak ada pertolongan. Lalu tercetuslah ide konyol bin labil. Karena tinja
masih nempel dengan anget-anget di dubur, enggak ada air, terpaksa tidak pake
celana saat keluar WC.
Ternyata!
Ada saudara perempuan gue sedang
sarapan. Oh, Shit Man! Si Riana
histeris seperti melihat penampakan hantu jorok enggak pake celana, hitam,
dekil, dan bau tahi.
“Lu ngapain keluar dari WC!” seru
Riana, merasa jijik.
“Air ledeng kosong, nyalain dong biar
airnya langsung bisa masuk ke bak mandi.” pinta gue, polos.
Baiklah. Alur cerita dipercepat dan
akhirnya gue bisa mandi plus nyebok dengan damai.
Bergegas berseragam dan langsung pergi
keluar rumah. Dengan sisa tenaga yang ada, ditambah belum sarapan. Gue berlari
menuju tempat angkot biasa muncul. Waktu itu julukannya lumayan kece, U-TEN
atau U-10, warna merah.
Si Akmal, temen gue, mengenalnya
sebagai mobil tuyul… lho?
Tapi ditunggui enggak nongol-nongol
tuh mobil, pukul waktu di jam tangan menunjukkan gue sudah telat 2 menit. Ini
tak bisa dibiarkan, jarak lumayan jauh, gue enggak bisa berpisah di tempat ini!
Ya, elah, lebay!
Akhirnya gue lari, iya, lari dari
kenyataan, gue enggak mau di pandang sebagai siswa yang telat di hari yang maha
penting ini. Ujian Semester.
Nafas gue tersedak-sedak, sampai betis
kayaknya udah enggak mampu di ajak berlari. Berbagai rintangan di jalan seperti
barisan bocah SD, kemacetan gara-gara Bajaj salah parkir, sampai melewati
bongkaran Sunter yang serba becek.
Rasanya kalo nanti gue punya anak,
akan gue kasih nasehat bijak, “Nak, hargailah waktu, karena waktu tak pernah
menghargai kita.”
Setelah sampai pintu gerbang, gue
nengok ke belakang. Dan… dasar kuda menjerit abis di sunat! Itu mobil U-10
lewat di depan mata gue, jadi selama ini, gue berlari jauh sambil dibuntutin
mobil angkot sial ini di belakang.
“Kenaaapaaaa…!!!”
Cobaan tetap menghampiri. Interogasi
Satpam penjaga gerbang sekolah. Ada teknik intimidasi dari si Satpam, yang
bikin gue hampir keluarin ingus saking greget-nya sama si Satpam ini.
Gue diijinkan masuk, langsung aja
ngeloyor lewatin meja piket, nyari kelas tempat ujian berlangsung dekat papan
mading. Kelasnya dekat kantin!
Saat masuk kelas dengan muka tak
berdosa, gue dengan sikap cool menjelaskan alasan kenapa terlambat datang. Sang
pengawas ujian Cuma manggut-manggut doang. Gue dipersilakan duduk di barisan
paling depan. Ujian ini benar-benar ujian, uji nyali plus uji ketabahan. Ujian
kali ini adalah MATEMATIKA!! Hahaha… seseorang pukul kepala gue agar merasa ini
cuma mimpi buruk saja.
Barisan paling depan, pengawasnya
bermata tajam, enggak ada peluang nyontek, salah belajar, keringat bercucuran,
sampai bau ketek berhamburan ke seluruh seragam gue. Dih, derita banget sih!!!
Solusi terakhir dan paling mentok
menurut mitos para siswa adalah dengan menjawab setiap pertanyan di lembar soal
menggunakan Feeling serta Cap Cip
Cup. Beres. Hasilnya? I Don’t Care!
Oke, bel istirahat. Asyik! Gue ke
kantin, pesan nasi goreng. Saat serah terima piring, gue check kantong baju.
Terasa hampa. Cek di kantong celana. Sepi, tak ada yang menonjol.
Aaahhhkkk… lupa bawa duit!
“Kalo enggak bawa duit, dilarang
ngutang!” tegas si Pemilik Kantin Nasi Goreng.
Alhasil, gue gagal serah terima. Dan
piring nasi goreng beralih ke siswa lain yang nasibnya lebih beruntung dari
gue. Dengan perlahan dan menahan isak tangis, gue pergi dari kantin bersembuyi
di balik para cowok macho yang berebut gorengan. Siapa tahu dapat satu, hehehe…