[Prolog Sebuah Buku] Dari Penjual Koran (Jalanan) Jadi Penulis
Sekelumit kisah ini merupakan “prolog” untuk buku saya yang berjudul “Tidur Berbantal Buku” yang akan terbit dalam waktu dekat
Batu permata tidak bisa menjadi berkilap tanpa gesekan; demikian
juga dengan manusia; tidak akan bisa menjadi baik tanpa cobaan
(William Shakespeare)
Tanpa dihimpit oleh cobaan, aku mungkin tidak akan pernah jadi
penulis. Sebab cobaan yang datang tanpa pernah aku undang itu, seperti
menjerumuskanku ke jalanan yang penuh dengan debu. Aku pun terpaksa jadi
penjual koran di jalanan Yogyakarta ketika ayah jatuh sakit dan tak
mampu mengirimiku uang kuliah.
Tetapi dari lempeng jalanan kota Gudeg itu, aku justru mengenal
kehidupan. Aku merasa didewasakan oleh kehidupan keras jalanan, dan dari
halaman koran, aku belajar menulis. Meski tidak ada guru menulis di
sampingku yang membimbing, aku merasa lembaran-lembaran koran itu adalah
guru yang bijak di tengah kehidupan jalanan sebab lembaran-lembaran
koran itu telah membakar spirit dan membuka mataku untuk bisa menulis di
kelak kemudian hari.
Semua itu, berawal dari kisah yang unik. Sebuah kisah yang membuatku
tersadar bahwa aku harus berubah. Tak mungkin, aku akan menjadi
penjual koran di sepanjang jalanan terus. Tak mungkin, aku harus
menjadi anak jalan, disengat terik mentari yang garang dan
bergelantungan di pintu bus, naik turun dari satu bus ke bus yang lain.
Jadi, aku harus bisa mewujudkan mimpiku…
Pagi itu, tepat di hari ketujuh aku jualan koran. Matahari bersinar
dengan cerah. Itu adalah pagi yang akan membawa berkah dan anugerah.
Beda ketika hari diselimuti dengan mendung dan hari sedang turun hujan.
Aku pasti hanya bisa duduk termangu di emperan toko dan menatap gelap
langit dengan raut sedih. Karena kehadiran matahari di pagi hari bisa
membuatku leluasa menjajakan setumpuk koran di tanganku sepanjang jalan,
menumpang naik bus; menawarkan berita hangat yang jadi headline koran.
Aku baru saja mengambil setumpuk koran di agen pasar Gading, lalu
melangkah ke tepi jalan untuk menunggu tumpangan bus dari terminal
Umbulharjo. Tapi, nasibku pagi itu seperti didekap kemujuran. Ketika
keluar dari pasar, lampu trafick light ternyata menyala merah. Kondisi
itu menjadikan semua kendaraan yang melaju dari arah Timur harus
berhenti. Kebetulan bus Mustika –salah satu bus jurusan
Yogyakarta-Semarang—sedang terdampar di perempatan Gading.
Aku pun segera berlari, kemudian menaiki bus Mustika itu dengan
memendam setangkup harapan bisa mengais rezeki. Setelah aku di atas bus,
aku pun beraksi dengan cepat: aku membagi-bagikan koran ke seluruh
penumpang. Itu jurus jitu jualan koran yang biasa aku terapkan untuk
menarik rasa penasaran penumpang agar mau membeli. Dengan cara itu, para
penumpang dapat membaca koran sekitar dua sampai tiga menit, lalu aku
menarik koran yang aku bagikan itu dari depan. Jika mereka sempat
membaca sebentar, tapi diliputi penasaran untuk membaca lebih lanjut,
maka tidak ada jalan lain kecuali mereka harus rela merogoh uang dari
saku mereka untuk membeli koran.
Aksiku di atas bus di pagi itu, rupanya membawa kerkah. Ada tiga
penumpang yang membeli koran Kedaulatan Rakyat yang aku jajakan. Hatiku
lega. Aku mengelus dada, karena aku telah mengantongi uang Rp 600.00 di
sakuku. Waktu itu, tahun 1995 harga koran Kedaulatan Rakyat Rp 200.00
dan dari setiap 1 eksemplar yang berhasil aku jual, aku mendapatkan
keuntungan separoh (Rp 100.00). Jadi, pagi itu, aku sudah meraup
keuntungan Rp 300.00. Keuntungan di awal pagi itu, membuatku ingin
istirahat sejenak. Aku ingin menghirup segelas kecil teh manis dan makan
satu pisang goreng di warung Bu Tum, di Pojok Benteng Kulon untuk
sekadar mengganjal perut agar aku tidak terkulai lemas di jalanan atau
jatuh dari bus.
Pelecut Kesadaran dari Tukang Becak
Pagi masih terasa menggigilkan tubuhku, meskipun sinar mentari sudah
bersinar cerah dari ufuk Timur. Angin pagi yang menelusup kencang dari
celah-celah jendela bus, membuat kantukku hilang. Aku merapat ke pintu
bus. Bus masih terus melaju, dan aku menggelantung di pintu bus. Tepat
di perempatan Pojok Benteng Kulon, bus berhenti untuk menaikkan
penumpang. Aku turun, kemudian melangkahkan kaki ke warung Bu Tum.
Perutku sudah terasa seperti melilit. Tenggorokanku dicekam haus.
Lalu lalang kendaraan yang melintas di jalan membuat aku tidak sabar.
Aku menunggu di pinggir jalan dengan cemas. Akhirnya, ketika jalanan
agak sepi, aku pun buru-buru melangkah. Tetapi, di saat aku melangkahkan
kaki dengan lunglai ke arah warung bu Tum, tiba-tiba sebuah suara
membuyarkan harapanku untuk bisa segera menenggak teh hangat.
“Koran…, mas!”
Aku menoleh. Tidak kulihat ada orang yang aku yakini akan membeli
koranku, kecuali aku hanya melihat tiga tukang becak yang menyandarkan
tubuhnya di atas becak masing-masing. Aku sama sekali tak percaya, jika
suara mengagetkan yang aku dengar itu bersumber dari salah satu tukang
becak tersebut. Aku merasa ada hantu di pagi hari yang sengaja iseng
menggodaku. Aku celingukan, menoleh ke sekitar untuk memastikan sumber
suara itu.
Tetapi lamat-lamat, dari kejauhan aku melihat salah satu dari tukang
becak itu melambaikan tangannya ke arahku. Aku menoleh ke belakang,
mengira tukang becak itu melambaikan tangannya memanggil seseorang di
belakangku. Lagi-lagi, tak kulihat ada orang lain yang dipanggil.
“Koran, mas…!” kembali suara misterius itu membuatku terhenyak kaget.
Aku menoleh, dan kulihat satu dari tiga tukang becak itu melambaikan
tangan ke arahku. Aku menunjuk ke dadaku, kemudian mengangkat tumpukan
koran yang masih menggunung di tangan kananku untuk sekadar memastikan
bahwa tukang becak itulah yang memanggilku.
Dia menggangguk. Aku segera berlari ke arahnya.
“Kamu ini jualan koran, tapi kayak orang tidak butuh duit. Dipanggil
berkali-kali, seperti orang bingung saja. Kamu boleh melihat tampangku
ini memang sebagai tukang becak, tapi jujur, aku tetap tidak mau
ketinggalan berita koran…” omel tukang becak itu, ketika aku berada di
dekatnya.
Aku hanya tersenyum geli, tetapi aku tak peduli dengan omelan tukang becak itu.
“Aku kira sampeyan bercanda waktu memanggilku, pak,” jawabku sekenanya.
Ia merogoh uang dari sakunya yang kumal. “Koran Kedaulatan Rakyat,” ucapnya seraya mengulurkan uang.
Aku mengulurkan koran kemudian menerima uangnya, seraya tersenyum.
Tapi, dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasa heran dengan
tukang becak itu. Dia rela merogoh kocek dari saku kumalnya untuk
membeli koran dari tanganku dan sesaat kemudian, ketika aku melangkah
pergi dari hadapannya, aku melihat ia membaca koran tersebut dengan
cermat.
Aku tak tahu, rubrik apa yang dibaca oleh tukang becak itu. Apa
berita kriminal? Lowongan kerja ataukah berita politik? Tapi, sindiran
tukang becak tersebut membuatku serasa tersulut api yang membuatku
tergeragap. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Selama tujuh hari aku
jualan koran, aku tidak pernah membaca koran yang kujajakan sendiri. Aku
seperti tak peduli dengan apa yang kujual karena yang aku inginkan
adalah koranku laku. Tak peduli, apa isi berita di koran kecuali aku
melihat sekilas berita pada halaman awal.
Demi mengejar keuntungan, aku terpaksa berlari sekencang angin
mengejar bus; naik turun dari satu bus ke bus lain, numpang jualan dari
terminal Umbulharjo sampai jalan Magelang kemudian kembali ke terminal
lagi, dan seterusnya –berkali-kali hingga siang hati lalu aku pulang ke
kontrakan dengan disergap letih dan capek. Tak pernah aku meluangkan
waktu untuk membaca dengan detail isi berita koran yang aku jual.
Aku melangkahkan kakiku ke warung Bu Tum, tetapi pikiranku masih
dikerubuti rasa heran dengan tukang becak tersebut. Rasa hausku lenyap
tiba-tiba. Rasa lapar yang tadi mengoyak perutku seperti sirna. Maka
setibaku di warung bu Tum, aku pun duduk lemas di sudut warung. Tetapi,
nanar pandangan mataku seperti tak bisa berpaling: aku menatap ke arah
tukang becak itu yang sedang membaca koran dengan mata khusuk.
Tanpa aku pesan, bu Tum seperti tahu apa yang aku inginkan. Tidak
lama setelah aku duduk, teh hangat porsi gelas kecil seharga Rp 50.00
pun terhidang di depanku. Aku masih tercenung. Pandangan mataku terus
menatap sosok tukang becak yang suntuk membaca koran di atas bacaknya.
Sementara itu, teh hangat di hadapanku seperti tidak menarik
perhatianku. Pisang goreng yang lezat di atas piring di depanku juga
tidak lagi menarik simpatiku. Pagi itu, aku benar-benar merasa
disadarkan oleh tukang becak itu.
Lima menit kemudian, bu Tum menatapku heran, “Engkau datang ke warung ini untuk memesan teh atau mau melamun?”
Aku tegeragap. Suara bu Tum –seketika menyadarkanku. “Tentu saja aku
datang ke sini untuk minum teh bu. Dari tadi aku bahkan sudah haus…”
“Tetapi, kenapa teh itu dibiarkan dingin?”
Aku menatap segelas teh yang masih mengepulkan asap tepat di
hadapanku. Saat itulah, aku baru merasakan jika tenggorokanku haus. Aku
meminum teh di hadapanku dengan beringas. Haus di tenggorokanku
tandas dalam sekali teguk. Satu pisang goreng di atas meja pun segera
aku santap. Perutku tidak lagi melilit. Itulah moment-moment di pagi
hari yang membahagiakan tatkala aku istirahat, mensyukuri hasil
keringat di awal menjajakan koran meskipun aku harus rela menunggu
koranku laku terlebih dahulu dua sampai tiga eksemplar untuk bisa minum
teh hangat dan satu pisang goreng.
Belajar Menulis dari Koran
Pengalamanku bertemu dengan tukang becak yang membeli koran
daganganku dan menyindirku di pagi itu, ternyata menyadarkan pola
pikirku dan mengukir sejarah baru dalam kehidupanku di jalanan. Sebab
sejak itu, tukang becak itu jadi langgananku; hampir tiap hari ia
membeli koran dariku. Hasrat tukang becak yang membeli koran dari
tanganku dan membacanya di atas becak dengan muka masih kusut, telah
mendorongku membiasakan membaca setumpuk koran yang aku jual. Sehabis
menunaikan ritual pagi minum teh hangat dan makan satu pisang goreng di
warung, aku duduk di emperan toko untuk meluangkan waktu sekitar
setengah jam atau satu jam membaca setumpuk koran daganganku.
Dari kebiasaan baca koran di emperan toko [dan kadang-kadang di bawah
pohon di tepi jalan di perempatan Bugisan dan Patangpuluhan] itu, pada
satu hari aku tiba-tiba disadarkan sebuah tulisan yang ditulis
mahasiswa di rubrik Opini atau Debat Mahasiswa di Kedaulatan Rakyat dan
Harian Bernas. Saat membaca, aku benar-benar tersadar dan terhenyak,
karena ternyata aku menemukan kenyataan seorang mahasiswa bisa menulis
di koran. Apalagi, saat aku membaca koran Minggu di rubrik resensi
buku, sering kali aku menjumpai deretan “nama penulis” dengan identitas
masih mahasiswa.
Setiap selesai membaca tulisan-tulisan penulis yang masih berstatus
mahasiswa itu, otakku serasa mendidih bagai air yang dijerang di atas
tungku. Ada sekelebat mimpi di dadaku yang memompaku untuk bisa menulis:
menorehkan namaku di koran seperti mereka. Maka dalam hati, aku
berjanji bahwa suatu saat nanti aku harus bisa menulis di koran. Dan
sejak itu aku pun mulai rajin membaca koran yang aku jual dan
mempelajari tulisan yang dimuat di koran secara autodidak.
Ironisnya, tidak jarang, ketika aku khusuk membaca koran di emperan
toko, aku kerap kali lupa kuliah: “bolos”. Jujur, di jalanan aku
mengenal kehidupan. Dari halaman koran, aku bisa belajar menulis. Aku
merasa seperti dianugerahi sepasang mata untuk melihat sekeliling dengan
mata yang tajam. Dengan tanpa bimbingan seorang tutor atau guru
menulis, aku belajar menulis dengan jurus tanpa “kitab suci”. Ibarat
murid di biara Shaolin, aku belajar ilmu bela diri dengan hanya melihat
hasil lukisan tendangan atau pukulan yang terpampang di tembok biara
Shaolin lalu tengah malam gulita aku belajar untuk mempraktekkan apa
yang aku lihat tersebut.
Jadi, setiap pagi hari aku melakoni ritual jualan koran di jalanan,
lalu menjelang siang berangkat kuliah dengan mengayuh sepeda dari
Krapyak ke kampus dan malam hari aku melatih diri untuk menulis. Semua
itu kulakukan untuk mewujudkan mimpiku; aku harus bisa menorehkan namaku
di lembaran koran, tidak harus jadi penjaja koran jalanan terus atau
jadi anak jalanan abadi.
Aku belajar menulis di malam hari, lalu aku kirim ke sejumlah koran.
Tapi, jalan yang aku lalui tidaklah mulus. Seratus halangan dan
terpaan, nyaris membuatku hampir putus asa saat tulisan yang aku buat
itu ditolak oleh redaktur media massa. Aku diliputi kegamangan, patah
arah. Bahkan dalam hatiku, sempat terbesit keraguan: apakah aku memang
benar-benar tidak akan pernah jadi penulis?
Tidak Patah Arang
Aku memang kerap gamang! Tapi, usaha keras, tidak jarang membuahkan
hasil. Aku tidak jadi patah arah. Sekeras apa pun persaingan merebut
lembaran koran, bagiku masih keras dan kejam kehidupan di jalanan. Itu
yang aku ketahui. Sebab di jalanan, aku sempat diancam dengan sebilah
belati yang dihunuskan tepat di wajahku. Di jalanan, aku sempat
berkelahi dengan penjaja koran dari Madura, karena ia merasa lahannya
aku rebut. Di jalanan, aku juga bergaul dengan preman yang kerap kali
mabuk dan berkelahi. Di jalanan, aku kerap kali bertemu dengan copet
yang dengan jeli dan cekatan menguntit dompet para penumpang. Itu
alasanku, kenapa aku tak patah arah jika hanya berjuang bisa menembus
koran.
Usaha keras, ditunjang kesabaran dan mental tidak patah arah, rupanya
mampu merubah “jalan hidupku”. Setelah berjuang dengan keras, satu
persatu, tulisanku dimuat di koran lokal hingga kemudian menembus koran
nasional, yakni di Kedaulatan Rakyat, Bernas, Solo Pos, Bengawan Pos,
Wawasan, Suara Merdeka, Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Suara Indonesia,
Lampung Post, Batam Post, Harian Riau Mandiri, Pikiran Rakyat, Tribun
Jabar, Matabaca, Gatra, Tempo, Koran Tempo, Republika, Seputar
Indonesia, Media Indonesia, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Jurnal
Nasional, Bisnis Indonesia, Suara Karya, Tabloit Nova, Majalah Anggun,
Gamma, Forum Keadilan, The Jakarta Post dan Kompas.
Aku mulai menginjakkan kaki di Yogyakarta untuk kuliah dan menjadi
penjual koran pada penghujung tahun 1995. Keterbatasan pengetahuan dan
tidak ada guru yang membimbingku, menjadikanku tidak bisa mewujudkan
mimpiku untuk menjadi penulis dengan mudah. Mimpiku hanya menggumpal di
sudut otakku. Apalagi, waktu itu aku tak memiliki uang lebih untuk
membeli mesin ketik yang dapat mewujudkan mimpiku bisa menulis di
lembaran koran. Di sisi lain, tak ada teman yang punya mesin ketik yang
bisa aku pinjam dengan leluasa. Jadi, mimpiku itu terkubur dalam lorong
waktu kurang lebih dua tahun.
Waktu berlalu. Deraan, cobaan dan ujian hidup pun silih berganti. Aku
bahkan terpaksa keluar kuliah ketika menginjak semester dua –karena
tak bisa bayar SPP. Tapi mimpiku untuk mampu menulis di lembaran koran
seperti tidak pernah padam. Apalagi, setelah keluar kuliah aku praktis
hidup di jalanan. Hampir setiap pagi aku jualan koran. Tapi di jalanan
itu, aku belajar mengenal kehidupan dan bersentuhan dengan setumpuk
koran: belajar autodidak cara menulis di koran.
Tahun 1996, aku daftar kuliah lagi. Seiring dengan berjalannya waktu,
satu tahun kemudian aku mulai merintis menulis dan mengirim tulisan
berupa cerpen ke koran di sela-sela kesibukan kuliah dan jualan koran.
Hampir satu tahun, kerja kerasku bahkan tak membuahkan hasil. Tidak ada
satu pun tulisanku yang dimuat di koran. Aku hampir putus asa. Tetapi
dalam “keputusasaanku” itu, aku mulai menekuni bidang fotografi dan
iseng-iseng aku mengirimkan foto yang aku hasilkan itu ke koran.
Rupanya, dari keisengan tersebut ternyata membuahkan hasil. Sebuah
foto yang aku kirim ke koran ternyata berbuah manis: dimuat di rubrik
“Citra Foto” di Kedaulatan Rakyat (Kamis, 11 Desember 1997). Bermula
dari pemuatan fotoku itulah, “rasa percaya diriku” untuk menulis bersemi
lagi. Mesin ketik yang sempat kugadaikan, kemudian aku tebus. Aku
kemudian berjuang keras untuk menulis lagi.
Tetapi, perjuangan kerasku ternyata tidak mulus. Aku mengalami jatuh
bangun, dan hampir setahun kemudian, aku bisa bernapas lega ketika
tulisan resensiku berjudul “Potret Yogya Sehari-Semalam” dimuat di koran
harian Kedaulatan Rakyat (Minggu, 01 November 1998). Lalu, disusul
tulisan resensiku yang berjudul “Sekolah dan Kepelikan Sistem
Pendidikan” yang juga dimuat di koran Kedaulatan Rakyat belum genap
sebulan (Minggu, 29 November 1989).
Dua tulisanku yang dimuat di koran itu memang membuatku percaya diri.
Tetapi jalan lempang ke depan, tidaklah mudah seperti yang aku
bayangkan. Karena menginjak tahun 1999, tidak ada ada satu pun tulisanku
yang dimuat. Baru memasuki tahun 2000, aku kembali bisa bernapas lega
lantaran empat (4) tulisan resensi-ku dimuat di Bernas, Kedaulatan
Rakyat dan Majalah Forum Keadilan.
Mulai Merambah Sejumlah Media
Setelah melalui perjuangan keras, pada tahun 2001 tulisanku mulai
bertebaran di koran. Tahun 2001, ada tujuh belas (17) tulisan resensiku
yang dimuat di koran –mulai dari koran Kedaulatan Rakyat, Surabaya
Post, Majalah Gamma, Pikiran Rakyat, Media Indonesia bahkan sudah tembus
Kompas.
Tahun berikutnya, 2002, tulisanku yang dimuat di koran mulai
meningkat. Dari tujuh belas tulisan yang dimuat tahun 2001, meningkat
menjadi tiga puluh (30) tulisan. Pada tahun 2002, selain banyak
tulisanku yang dimuat di media massa yang sebelumnya belum pernah memuat
tulisanku (seperti di Solo Pos, Bengawan Post, Republika, Koran Tempo,
Suara Pembaruan, Surya, Jawa Pos dan bahkan Jakarta Post) aku juga
kembali menulis cerpen. Cerita pendek pertamaku berjudul “Mbah Kardoen”
dimuat di Solo Pos (Minggu, 28 Juli 2002).
Tahun 2003, proses kreatifku mencapai puncaknya karena kerja kerasku
berhasil menorehkan lima puluh enam (56) tulisan –dalam berbagai genre-
yang dimuat di koran dan majalah. Aku tidak hanya menulis resensi buku
dan cerpen, melainkan menulis esai sastra, esai film, opini dan bahkan
juga puisi. Tahun 2004, bisa dikatakan tulisanku yang dimuat di koran
menurun jumlahnya karena cuma ada tiga puluh tujuh (37) tulisanku yang
dimuat di koran.
Tahun 2005, aku hijrah ke Jakarta bekerja sebagai wartawan.
Kesibukanku mulai merenggut waktuku sebagai penulis freelance di
sejumlah koran dan majalah yang sudah mulai aku rintis sejak 1998. Tak
salah, jika ada dua belas (12) tulisanku yang dimuat di koran selama
tahun 2005. Tahun 2006, ada dua puluh dua (22) tulisan yang dimuat di
koran. Lalu, tahun 2007, ada dua puluh delapan (28) tulisan. Tahun 2008,
ada empat puluh tiga (43) tulisan dan tahun 2009, ada dua puluh
sembilan (29) tulisan.
Kini, sudah sepuluh tahun lebih aku menjadi penulis freelance di
sejumlah koran lokal dan nasional: menulis resensi buku, opini, esai
sastra, esai film dan cerita pendek. Tak kurang ada 300 tulisanku yang
sudah dimuat di koran lokal dan nasional. Mimpiku untuk bisa jadi
penulis akhirnya terwujud. Bahkan, berkat tulisanku yang banyak dimuat
di koran itulah aku kemudian bisa menjadi wartawan.
Dulu, sebelum lulus kuliah UIN Yogyakarta, ketika kampus tempatku
menimba ilmu mengadakan lomba cerpen dan resensi buku yang dijaring dari
tulisan-tulisan yang pernah dimuat di koran, aku mendapat juara
pertama untuk kategori lomba cerpen dan resensi buku (tahun 2002).
Tahun berikutnya, 2003, aku kembali merebut juara. Selain itu, beberapa
kali aku juga memenangi lomba menulis resensi buku yang diadakan oleh
beberapa penerbit. Satu “prestasi gemilang” aku raih tatkala IKAPI
mengadakan lomba blog buku; aku berhasil terpilih jadi juara pertama
dalam lomba blog Pesta Buku Jakarta 2008.
Semua prestasi itu seperti sebuah mimpi. Pasalnya, sejarah hidupku
nyaris selalu diliputi rentetan kegagalan. Sedari kecil, bahkan aku
nyaris kehilangan mimpi dan masa depan. Sebelum kuliah, aku tidak pernah
bercita-cita menjadi penulis. Apalagi, terbesit sebuah mimpi besar
untuk jadi wartawan. Jika sekarang ini aku berhasil jadi penulis dan
wartawan, itu semata-mata karena “kecelakaan sejarah”.
Awalnya, aku terjerumus menjadi penjual koran dan setelah membaca
koran aku memiliki mimpi untuk jadi penulis. Mimpiku itu, sekarang sudah
terwujud. Karena itu, bermimpilah setinggi langit. Suatu hari nanti,
mimpimu itu akan jadi kenyataan. Dalam meraih mimpu itu, aku tidak
memungkiri apa yang dikatakan oleh Dough Hoper, “you are what you think
(Anda adalah apa yang Anda pikirkan)”.
Jadi, jangan takut untuk bermimpi!